Syair lama terdengar kembali, "Suasana di kota santri, asyik senangkan hati..Memang betul, mengabdi menjadi seorang santri secara otomatis pribadinya akan selalu asyik menyenangkan hati..*ahay
Aku sendiri pun seorang santri dan tetap bangga dengan status yg terus melekat dalam diri. Tentunya perjuangan seorang santri luar biasa lebih berat ketimbang siswa sekolah biasa. Serius..Dua rius deh hehe.
Cerita sedikit ya...
Awalnya aku nggak mau masuk pesantren, tapi karena itu adalah permintaan orang tua dan takut tiba - tiba di kutuk jadi batu karena nggak nurut, akhirnya dengan terpaksa aku mau nyantri. Tapi sebelum daftar ulang, aku masih muterin otak bikin planning sendiri ckck..
Pertama-tama, gimana caranya biar orang tuaku berubah pikiran saat berusaha menyekolahkan anak sulungnya ke pesantren, nah lho gimana. Itu sih kecil, tinggal bilang "Mi, bi aku kan nanti jauh sama umi abi kalo mondok, nanti umi sama abi kangen lagi terus nyuruh pulang terus, capek nanti sibuknya bolak-balik pesantren-rumah buat jenguk doang, terus nanti aku nggak fokus belajar, fokusnya malah bawaan yg mau dibawa apa aja pas nanti di jenguk..."bla bla bla.
Tapi, upaya sang anak akan kalah jauh dibanding doa-upaya kedua orangtua yang kekeuh anaknya harus masuk pesantren. "Dicoba dulu, mbak." Jadi planning 1 gagal.
Kedua, yang jadi masalah ialah pesantrennya khusus putri dan diwajibkan memakai niqob atau cadar (ini jaman daku smp ya). Lah, pake kerudung aja udah alhamdulillah ini ditambah ada penutupnya, nanti kalo pulang ke rumah dikata apa sama orang sekitar, pokoknya udah mikir yang macem - macem deh. Akhirnya bilang lagi ke ortu kalau disana wajib memakai cadar dan aku nggak mau, sontak ummiku jawab, "Jalanin aja dulu mbak enjoy aja lah," Kesal sekali dulu aku mendengarnya. Jadi planning 2 juga gagal.
Belum lagi nanti pas ujian akhir ada ujian nasional, ujian sekolah plus yang jauh lebih susah dari UN, ujian pondok. Hadeuhh.
Berlanjut sambil ngelah - ngeluh sendiri pokoknya harus selesai tiga tahun aja setelahnya nggak mau pesantren lagi.
Tapi eh tetapi kenyataannya di tahun kedua malah jadi orang kepercayaan teman asrama, teman kelas, kakak kelas, ustadzah dan jadi enjoy sendiri tho..hehe. Memang akhirnya pun terpaksa harus pindah dan lanjut sma yang berbeda tempat, tapi tentunya aku tetap lanjut mondok, maka pada akhirnya betah enam tahun menjalani hidup sebagai seorang santri.
Nggak bakal sia-sia di pesantren enam tahun, malah ilmu pengetahuannya dapet buanyak banget lho, terutama ilmu 'melarikan diri' dari segala macam ancaman hehe nggak dong, yang paling utama dapet ilmu agama dan beretika. Kalau ilmu 'melarikan diri' tadi nggak usah ditiru ya kawan🙏, aku khilaf.
Banyak yang bilang terutama para orangtua 'yang sayang anak' bahwa anak yang dimasukkan ke pesantren berarti anaknya bandel atau orangtuanya nggak sayang anak, anaknya ditelantarin dengan dibuang ke pesantren karena susah di urus. Astaghfirullah, salah banget kalau masih banyak yang beranggapan begitu, kalau nggak percaya ya aku buktinya, alhamdulillah sekarang bisa lanjut sampai ke jenjang kuliah, bukan orang yang nakal atau bandel *rada bebal dikit iya sih, dan orangtuaku justru karena sayang dengan anaknya dan beranggapan bahwa anak dengan usia remaja harus punya dasar bekal din atau agama yang kuat agar saat dewasa nanti paham akan pemikiran dan perilaku yang baik dan benar sesuai syariat agama, dan berpegang teguh pada keimanan dan pendirian, bahwa hanya Allah azza wa jalla satu - satu nya dzat yang wajib diibadahi dengan benar. Itulah istimewanya seorang santri.
Jangan juga beranggapan kalau santri nanti cuma bisa ilmu agama aja, akademiknya nol dan akhirnya nggak bisa sukses di masa depan. Hmm memang ada sebagian pesantren yang khusus hanya mengulik kitab kuning semacam pesantren tradisional sehingga tidak mempelajari bidang akademika. Nah sekarang gini, takaran sukses seseorang apakah hanya diliat dari akademiknya yang perfect, yang matematikanya selalu nilai sempurna, kan nggak juga. Ada dan banyak orang yang sangat pintar bahkan jenius sekalipun tetapi ternyata takdir kesuksesannya bukan karena kejeniusannya, namun karena hal yang digelutinya atau yang dia sukai misal dari hobi kecilnya atau dari bakat terpendamnya atau dari usaha turun - temurun nenek moyangnya. Maka sepatutnyalah kita kembali lagi bersyukur atas semua nikmat yang telah diberi, bukannya hanya terus meminta yang sebetulnya diluar kemampuan kita. Boleh lebih, asalkan disesuaikan juga dengan komposisi diri masing - masing.
Oiya kembali ke santri, maka sampai sekarang aku yang telah menjadi seorang mahasiswa pun tetap menyandang status santri. Menurutku itu adalah sebuah status abadi. Mengapa demikian? Karena sampai akhir hayat nanti ilmu-ilmu yang kupelajari di pesantren akan terus dilakukan. Mulai dari ibadahnya, tilawah Al-Qur'annya, mungkin yang sampai menghafal Al-Qur'an juga akan tetap menghafal dengan muroja'ah atau mengulang - ulang ayat yang sudah dihafal, cara beretika dan berpakaiannya, sampai cara berorganisasinya juga akan selalu di ingat dan nggak bakal lupa.
Apalagi kalau udah ngomongin masa2 manis pahitnya selama di asrama, yang kadang berantem nggak jelas tapi lebih sering canda tawa, kelakuan - kelakuan kreatif ala santri tapi bikin kacau, bandel2 nya sama ustadz ustadzah juga *kalo ini nggak boleh ditiru ya hehe..ngomong2 ini juga ilmu lho.
Yang terpenting, seorang santri itu sebenernya seorang pembelajar yang baik. Dari hal menata diri sampai hal yang menyangkut nilai ujian akhir ia mesti belajar. Sudah tersetting di otaknya agar ia harus menjadi santri yang luar biasa, bukan yang biasa2 saja, ya tentunya dengan belajar juga. Bahkan ada yang bilang kalau pernah hidup mondok di pesantren itu kelihatan masih ada aura santrinya gitu, wadaw.
Itulah nikmatnya menjadi santri, lebih - lebih jadi status abadi :)
Nb : Yang pernah mondok gausah malu dan marah kalo dibilang anak pesantren atau bekas santri. Ok.
This is based on my experience
Night at home
22:18 WIB
Komentar
Posting Komentar