Novel fiksi-sejarah buah karya Ustadz Salim A.Fillah dengan 631 halaman ini menceritakan sebuah perang paling berdarah di Nusantara yang terjadi berturut-turut pada tahun 1825-1830 M, ialah Perang Sabil atau sering disebut Perang Diponegoro. Awal tercetusnya Perang Sabil ini terjadi pada hari Rabu, 5 Dzulhijjah 1240 Hijriah, oleh pasukan Hussar Kavaleri Belanda yang menyerang Puri Tegalrejo, sebuah pendapa kediaman Sultan Kanjeng Pangeran Diponegoro.
Kejadian perang tersebut berhubungan dengan perintah Daulah Utsmani Turki yang menyarankan agar orang timur yang melanjutkan perjuangan jihad melawan kaum kafir Eropa yang sedang menjajah. Orang timur yang dimaksud ialah Nusantara. Juga dikarenakan hutang sejarah yang dimiliki oleh Kesultanan Turki Utsmani kepada Nusantara yakni mengenai perdagangan rempah oleh Pasar Konstantinopel yang terbilang lebih mahal dibandingkan langsung dari pusatnya negeri rempah-rempah. Selain rempah, semangat orang Eropa untuk menyebarkan agama Kristen yang dahulu diarahkan ke Konstantinopel, karena jalur mereka terhenti sebab Kesultanan Turki Utsmani menutup pasar, maka Bangsa Barat mengerahkan semangatnya untuk mencari rempah sekaligus menyebarkan agama Kristen ke Nusantara dengan cara menjajah, sesuai dengan visi mereka yaitu gold, glory, dan gospel. Maka Kesultanan Turki Utsmani yang diwakili oleh seorang wazir agung mengirim pasukan ke Nusantara untuk ikut berjihad melawan orang Eropa karena membayar budi.
Dikisahkan pula petualangan sang putra-putri wazir agung, Nurkandam Pasha dan Nuryasmin dengan ditemani oleh sang Juru Tulis wazir agung, Katib Pasha serta dua Janissary terakhir yang masih setia kepada Kesultanan Turki Utsmani, Orhan Agha dan Murad Agha mereka sebagai wakil dari Turki Utsmani dalam ekspedisi jihad ke tanah jawa. Dalam perjalanan mereka, tentu banyak perjuangan demi perjuangan yang mereka lalui. Sulitnya perjalanan mereka dari Turki Ustmani hingga Nusantara, belum lagi perjuangan yang sebenarnya untuk berjihad melawan pasukan belanda di tanah jawa tidak mengurungkan niat murni mereka, demi terpenuhinya hutang yang terbayar lunas sudah membuat mereka semangat dan pantang menyerah.
Kisah kasih pun tertulis dalam novel ini, terpatri pada tiga wanita bidadari surga nan jelita dengan asal mereka yang berbeda-beda namun menjadikan mereka sahabat sejati. Kekuatan paras dan hati mereka membuat semua lelaki tunduk saat bersatu pandang dengan mereka. Ialah sang mawar putri kepatihan, sang tulip putri wazir agung, dan sang melati putri pandai besi. Kisah mereka disaksikan langsung oleh emban kepatihan yang sangat setia kepada mereka selayaknya kepada putrinya sendiri. Mereka adalah contoh wanita penghuni surga yang selalu taat kepada agama dan ikut berjihad melawan pasukan Belanda dengan cara mereka sebagai seorang wanita.
Para penjajah dari Belanda sangat menginginkan kekuasaan mereka menggurita di tanah jawa, sekaligus menyingkirkan Sang Pangeran. Karena menurut penjajah Belanda, kefanatikan terhadap agama yang berasal dari ajaran Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya membuat mereka semakin sulit untuk dikalahkan, apalagi ditambah dengan bantuan pasukan dari ngerum atau Turki Utsmani, tempatnya Daulah Islam berjaya di Eropa. Semakin tahulah mereka bahwa orang-orang ngerum sangat mahir berperang melawan kaum kafir.
Dampak yang diberikan orang Belanda telah memberi contoh yang buruk bagi kaum pribumi, terutama kepada para penghuni Keraton karena mereka memiliki kekuasaan dan bebas untuk melakukan apa saja. Berbuat curang, berkhianat, siasat keji, membunuh orang-orang yang tidak patuh kepada mereka dengan cara yang tidak manusiawi, hingga merendahkan kaum wanita sebagai pelampiasan nafsu bejat. Akhlaq mereka merosot sementara orang-orang yang masih memakai akal sehat lebih memilih bungkam dan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Keraton yang dahulu telah dibanggakan karena dibangun oleh perjuangan yang tiada habisnya mulai tercemar moralnya.
Dikisahkan dalam novel ini seorang patih Kesultanan Yogyakarta, Raden Adipati Danurejan dan Komandan Pasukan Bhayangkara Keraton Yogyakarta, Raden Tumenggung Mayor Wironegoro, sebagai wakil Keraton yang buruk perangainya karena pengaruh Belanda. Mereka berdua tadinya adalah seorang santri sejati bersama-sama menimba ilmu dengan Pangeran Diponegoro, yang menjadikan mereka sahabat. Namun, karena rasa iri yang dimiliki mereka berdua terhadap Pangeran Diponegoro yang selalu dianggap baik oleh rakyat tetapi tidak dengan mereka, maka timbul rasa dendam sampai ingin menghancurkan Sang Pangeran.
Perang yang terjadi selama lima tahun berturut-turut sebenarnya sangat melemahkan pasukan Belanda, terutama masalah perekonomian mereka. Sudah berapa gulden mereka habiskan untuk membeli senjata, membuat benteng pertahanan, hingga menyuap pejabat untuk mendukung mereka menguasai jawa. Mereka kewalahan dengan pasukan Diponegoro yang pantang menyerah terus melakukan serangan demi serangan untuk merebut keadilan dan kemakmuran. Para penjajah memutar otak untuk melakukan siasat bagaimana caranya agar Sang Pangeran menyerahkan diri, menghentikan perang yang telah terjadi dan menyebabkan banyaknya korban yang gugur. Belanda akhirnya membujuk para pengikut pangeran untuk menghentikan perang dengan menyerahkan diri Sang Pangeran. Mulailah satu per-satu muncul pengkhianat yang jatuh di tangan Belanda karena imbalan-imbalan kekuasan yang diberikan kepada mereka dengan syarat berhentinya perang.
Seperti yang dikisahkan dalam novel ini yaitu panglima muda pasukan Pangeran Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo dan panglima tertinggi pasukan Pangeran Diponegoro, Ali Basah Kertopengalasan. Karena lelah terhadap perang yang berlangsung sekian lama, mereka lebih memilih menyerah kepada Belanda dengan imbalan kekuasaan dan harta yang diberikan.
Semakin banyak pasukan Sang Pangeran yang syahid berperang, juga munculnya pengkhianat-pengkhianat, maka Sang Pangeran diuji dengan kesetiaan para pengikutnya. Sampai dikisahkan pula Sang Pangeran terpaksa memisahkan diri dengan pasukannya pergi ke tengah hutan karena sedang diburu oleh pasukan Belanda hanya dengan ditemani dua emban sejati, Joyo Suroto dan Banteng Wareng. Ditambah dengan kondisi Pangeran yang sedang sakit saat itu. Namun, Sang Pangeran tidak mengeluh karena pengikut sejatinya masih setia bersamanya. Pertolongan Allah ‘azza wa jalla pun dekat dengan mereka. Adalah Si Tepeng, seekor harimau jawa yang atas perintah Allah SWT ia mengirimkan seekor kijang untuk dimakan oleh Sang Pangeran dan dua embannya.
Alur Cerita Perang Sabil melawan penjajah Belanda serta ‘londo ireng’ atau pribumi yang berpaling kepada Belanda demikian rinci dalam novel ini. Dimulai dari tercetusnya perang, kekuasaan Belanda yang semakin meluas dan semakin sempitnya kepercayaan Sang Pangeran kepada para pengikutnya, munajat Sang Pangeran di Gua Selarong, kejadian dari Puri Tegalrejo hingga Remo Kamal di Bagelen Barat, lalu pengkhianatan terakhir yang dilancarkan Belanda di Magelang. Oleh karena pengkhianatan terakhir tersebut, akhirnya Sang Pangeran diasingkan jauh dari tanah jawa, dekat dengan lepas pantai benteng apak di Makassar, Sulawesi Selatan dan terlahirlah Babad Dipanegara, sebuah naskah berhuruf pegon Arab-Jawi, sebuah aksara bersampul kulit yang isinya mewakili hati Sang Pangeran selama berjuang melawan penjajah.
Maka, ini adalah tentang murah dan mahalnya sebuah perjuangan, murah karena amalan jariyah berbuah pahala tersebut sangat dekat hanya dengan ikut berjuang jiwa raga melawan penjajah dengan berbagai cara, serta mahal karena nyawa dan darah yang menjadi tebusannya. Maka tersematlah kata ‘Maktuub’ untuk Perang Sabil ini.
Komentar
Posting Komentar