Pindah? Ke Jogja?
Kok mau sih, kan nggak bisa bahasa jawa?
Bukannya UMR terkecil disana ya?
Emang punya kenalan atau saudara?
Enak sih, tapi enaknya cuma buat plesiran kan?
Apa sih menariknya tinggal disana?
Kenapa Yogyakarta?
Sesungguhnya isi kepalaku rame banget dengan pertanyaan-pertanyaan diatas. Sebagian besar aku jawab dengan jawaban pamungkas, ngikut ortu. Beberapa ku balas dengan jawaban ala kadarnya, nyari angin segar. Dan sebagian kecil aku jawab sejujurnya, salah satu nikmat dari Tuhanku yang tidak akan pernah aku dustakan.
Sebagian kecil jawaban ini baru ku temukan setelah hampir 2 tahun 4 bulan aku menetap di jogja. Aneh memang. Tapi aku nggak akan pernah menyangka kalau itu adalah jawaban dengan akurasi tingkat tinggi, nyatanya.
Sedari abi kasih dua pilihan, antara pekalongan dan jogja, sebelum almh.ummi menjawab terserah abi, dan sebelum adek2 ku bingung mau kemana, aku sudah lebih dulu memantapkan jawaban bahwa jogja lah pilihannya. Walaupun kayaknya aneh, nggak mungkin, asing, nggak kenal, terkesan ambigu antara buat menetap atau buat dolanan wkwk. Bayangin aja, walaupun kami kental sekali dengan darah orang jawa, aku dan adikku lahir di jawa, tapi jakarta dan tangerang sudah menampar dan menempa kami berulang kali sampai kami nggak ngerti budaya dan bahasa jawa. Ngerasa aman-aman aja, nggak masalah. Gue kan orang jakarta, pinggirannya.
Sebab gerah sekali lihat sumpeknya tangerang dan jakarta, opsi dari abi akhirnya dititahkan. Dan ini adalah sebuah tantangan baru, level 2 lah kira-kira kita tarik untuk keluar dari satu zona bahaya, menuju zona bahaya selanjutnya wkwk. Lho iyakan, hidup itu jangan selalu di lingkaran zona aman dan nyaman, nanti males mager mulu kerjaannya. Maka akhirnya memang jogjalah tempat teristimewa, eh aku baru ngomong begitu doang, belum, belum ngerasain.
Setelah sekian purnama aku tinggal, barulah aku tau alasan terbesar jogja jadi persinggahan kami yang kesekian kalinya. Mohon maaf, efek nomaden jadi ya taulah gimana nasib kami. Lupakan urusan bahasa dan budaya, kami justru dengan senang hati mau belajar dari para warga. Lupakan juga urusan kerjaan, jabatan, salary, UMR kecil, gampang. Tinggal bekerja dengan ikhlas berharap Allah ridha dengan kerjaan kita, gaji mah beres bro. Lupakan juga urusan jauh dari sanak saudara dan kerabat dekat, justru kami, aku khususnya pengen banget keluar dari lingkungan keluarga dekat, dan masuk ke lingkungan saudara seiman. Rasanya, aku seperti baru jadi manusia yang murah senyum ke siapa saja, termasuk kamu:))
Bukannya aku ingin memuji jogja dengan segala kenikmatan alamnya, atau makanannya, atau ramah tamah masyarakatnya, tapi baru kali ini aku hidup tidak terkekang sama dunia. Dan kebetulan uripe yo pas ning jogja. Kesadaran spiritual dan konteks keimanan hakiki yang berlipat ganda itu memancar justru bukan pas aku mondok di pesantren, melainkan ya pas tinggal di jogja. Dan itu bisa dari mana aja, siapa aja, kapan aja, dan ada aja pas lagi kosong, atau lagi bosen, atau lagi males, atau lagi merem kadang.
Memang sebab tabiat warga lokal yang alon alon waton nglakon, mangan ora mangan asal ngumpul, urip iku urup, ke-khas-an lokal mereka pun menular dan menjalar ke para pendatang macam aku ini. Terserah apakah kamu orang jakarte, sunda, minang, palembang, orang beta, samarinda, medan, manado, papua, minahasa, semuanya jadi slow but sure aja bro.
Berangkat dari sanalah aku ternyata punya ruang lebih banyak buat bertafakkur, bertadabbur, bertasbih, tahmid, tahlil, segala macam aktivitas ibadah yang seharusnya bisa dilakukan dibalik semua pekerjaan yang terlalu menyita waktu, tenaga dan pikiran, itu kayak air terjun, deras banget ngalirnya. Punya ruang lebih banyak buat mikir kalo besok gue mati, gue udah punya bekel apa aja sih, atau nggak waktu muda gue udah dihabisin buat apa aja, yang ternyata masih kalah jauh sama Muhammad Al-Fatih, sama Fathimah Az-Zahra, sama Abdullah bin Umar, sama Imam Bukhori, sama Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, sama orang-orang yang udah hebat banget waktu usia mudanya buat belajar dan beribadah. Ngiri banget kan.
Tapi kalo misalnya aku ditanya bakal pindah lagi atau nggak? Ya Wallahu a'lam. Bisa aja iya, bisa aja nggak. Karena aku juga nggak tahu besok masih hidup apa nggak wkwk. Selama masih ada tempat disini buat tinggal, ya dipakai aja, walau tak selamanya...
Mungkin jogja pun masih terasa kental dengan adat budayanya dan amat sangat heterogen, tapi kalau mau nyari, ada banyak banget pusat-pusat belajar islam di jogja dan juga kebanyakan pemuda yang jadi penggerak. Biasanya dari lembaga dakwah kampus pun banyak yang open learner juga, dan nggak sedikit juga dari masjid-masjid sekitar. Tapi bagaimanapun, tetap cari yang sesuai dengan syariat islam, karena ya nggak sedikit juga yang menyimpang dari sana. Selama itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, ya ikuti aja, kalo ada dan banyak yang belok ya jangan diikuti ya.
Kesimpulannya adalah, because i find my second life-changed for my purposed life in akhirah, from this place, for Jannah :)
-Salsabila
Komentar
Posting Komentar