Bismillah. Assalamu'alaikum temen-temen👋
Gimana, puasanya lancar? Semoga kita senantiasa dikuatkan sama Allah ya selama menjalani puasa di bulan yang mulia ini. Aamiin.
Jadi tadi aku habis dengerin podcast nya salah satu tim dari YukNgaji, kalau kalian tau grup telegram Kingdom of Sirah (aku tau ini setelah banyak mengulik YukNgaji dan ikut kelas-kelas dari YukNgaji, bisa dicari di instagram atau youtube officialnya), nah ini garapannya King dari KOS, namanya King Shifrun.
Nah di salah satu episodenya, King Shifrun lagi featuring bareng Bang Hawariyyun, kalo yang ini kayaknya sih udah pada kenal ya. Salah satu influencer dakwah kalangan anak muda yang juga masih bergabung satu tim di YukNgaji.
Di episode ini, kebetulan Bang Hawariyyun lagi bahas tentang perjalanannya dia sampai bisa gabung di komunitas dakwah YukNgaji, lika-liku nya dia yang basicnya santri, nah yang pengen aku tarik benang merah dari perjalanannya Bang Hawariyyun adalah jalan dakwahnya yang lingkungan komunitasnya justru kebanyakan bukan lulusan pesantren, atau bisa dibilang para aktivis hijrah yang mulainya dari nol.
Ini sebenernya agak mirip dengan kasusku yang sesama lulusan pesantren. Nah dari ceritanya Bang Hawariyyun aku jadi pengen banget ceritain kisah perjalananku sampe pengen ikut terjun dalam dunia dakwah (walaupun background ku sekarang tenaga kesehatan wkwk)
Ohya, pendeknya ini pernah aku bahas di ig story dan aku taruh di highlight 'Art of Dakwah', terus yang sekarang ku bahas anggaplah full version nya.
Aku mulai kenal mengaji sebenernya dari sd kelas 3. Dulu, aku bukan ikut mengaji yang biasa di selenggarakan mushola/masjid-masjid pada umumnya. Lebih tepatnya aku dimasukkan ke LTQ atau lembaga tahfidz qur'an.
Kurang lebih 2,5 tahun (karena 1 semester terakhir udah mulai bimbel kelas 6 kalo gasalah) disana dan aku mulai mengenal juga pelajaran aqidah, fiqih, hadits, akhlaq, siroh nabi, dll. Begitu aku lulus sd maka berakhirlah juga aku mengaji di LTQ tersebut.
Masuk SMP aku di bawa ke salah satu ma'had atau pondok pesantren di Bekasi. Kenapa kok dari Tangerang bisa sampe ke Bekasi jauh banget? Kebetulan sekolah ini atas rekomendasi guru dari LTQ tadi, dengan harapan aku bisa melanjutkan ilmu dan hafalan Qur'an yang udah pernah aku dapet selama di LTQ. Satu lagi, mengurangi pergaulan ke laki-laki dan pas banget pesantrennya khusus perempuan. Jadi selama 3 tahun di sekolah ini aku nggak pernah kontak sama laki-laki yang satu kelas/angkatan.
Alhamdulillah hafalan Qur'an dan pelajaran agama dari LTQ dilanjutkan disini jadi aku nggak begitu kaget dengan semua hal yang serba baru, apalagi baru pertama kalinya di asrama dan pisah sama orangtua ya kan, kecuali satu, cadar. Aku dulu agak takut pakai cadar walaupun udah terbiasa lihat beberapa guru LTQ ku ada yang pakai, tetep aja rasanya belum siap. Di pikiranku dulu kalo orang pakai cadar berarti udah sholihah banget, nggak punya keburukan dan pokoknya udah jadi ustadzah.
Tapi karena teman-temanku pada pakai, juga dari aturan sekolah diwajibkan, ya lama-lama aku biasain pakai juga sih, cuma di sekolah doang, kalo pulang ke rumah aku masih tanpa cadar, tetep belum siap untuk istiqomah mwhehehe.
Sampai sini mesti kalian paham dengan sistem pendidikannya, betul disini sangat menanamkan syariat islam, ilmu diniyah (agama) mumpuni banget, hafalan Qur'an (tahfidz) nya oke, kauniyah (ilmu umum kayak mtk, ipa, bahasa, ips) juga tetep jalan, cuma satu yang kurang, otakku sangat berjuang dan kepake disini wkwk bukan deng. Selepas aku lulus dari sini aku jadi orang yang agak berbeda, lebih kaku dan individualis. Aku nggak bilang ini pengaruh dari pesantren, bukan, tapi satu dua hal mungkin aku agak terpengaruh dari teman sekelilingku dan diriku sendiri yang sifat defensifnya mulai muncul - karena tinggal bersama satu atap jadi lebih waspada sama sekitar - selama aku disana.
Sebab ada yang beda dari sifatku selama aku pulang ke rumah, dan sepertinya abi agak nggak cocok dengan sekolah SMP ku (karena ini rekomendasi temen umi), akhirnya aku tidak lanjut SMA disana, pindah pesantren ke Tangerang. Masuk SMA yang sistem pendidikannya 180 derajat kebalikannya dari sekolah SMP, dan SMA rintisan angkatan pertama (awalnya SMP doang trus baru buka SMA nya), jujur aku cemberut sepanjang jalan setelah daftar dan tes.
Tapi qodarullah, aku banyak ketemu temen dari perumahan dan temen TK - yang akhirnya gara-gara masuk sini jadi temen SMA. Lambat laun aku lupa dan jalanin sekolah lumayan baik-baik aja (walaupun ditengah jalan kita pernah mogok bolos tahfidz gara-gara kita minta kepsek membuka pendaftaran SMA buat santri laki-laki, dan nggak digubris, btw sekolah yang ini juga khusus perempuan, entah kenapa. Kayaknya jiwa2 remaja menjelang sweet seventeen yang mulai pada bergejolak sih).
Setelah lulus SMA, aku balik ke rumah dengan pribadi yang juga berbeda lagi, namun cenderung ke arah yang positif. Aku cenderung lebih santai dan banyak haha hihi malah, walaupun sifat defensifnya masih ada tapi cukup berkurang dengan mulai senang bersosialisasi, ikut jadi relawan donatur, dan aktif di organisasi atau ekskul semasa sma.
Mulai masuk kuliah, jengjengjeng, aku kaget. Dengan segala kebebasan pergaulan yang ada, kebebasan memilih mau kuliah apa bolos aja, kebebasan berkeyakinan, apa aja semuanya terserah. Karena udah biasa diatur di pesantren aku malah nggak biasa dibebasin dan, sifatku itu muncul lagi. Bahkan agak parah, karena aku nggak biasa dengan model sekolah umum (tapi bersikeras nggak pengen kuliah berbau islami😅), dimana-mana aku kikuk, keringet dingin, grogi, jarang ngomong, nggak pd apalagi pakaianku yang ala santri, panjang dan lebar. Aku insecure.
Coming soon👉
Komentar
Posting Komentar