Satu buku yang aku screenshoot dari Igs Teh Kartini ini judulnya sangat menggelitik. Terus langsung kupake buat judul tulisan ini, sengaja Ikan dan Burung aku tuker tempat. Biar nggak jiplak ketuplak sama Suhu Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun ini sih.
Menariknya adalah umpama ikan dan burung. Udah jelas masing-masing dari mereka punya bidangnya, ruangnya, bahkan jenis sekalipun Binomial Nomenklatur-nya!
Masih inget di pelajaran biologi? Hehe.
Itu cuma umpama, analogi karakter dari ikan dan burung. Ikan bisanya berenang, burung bisanya terbang. Allah ciptain sirip ikan dan sayap burung nggak serta merta tanpa tugas dan fungsi yang jelas, bahkan dari sirip, ikan dengan mudah menyisir plankton2 yang gampang dimakan, mudah buat berlindung dari mangsa, mudah untuk berkembang biak di dalam air. Bahkan dari sayap, burung dengan mudah mencari pohon2 tempat sarangnya bertengger, yang dengan itu juga memudahkannya mencari area yang tepat dengan cukupnya makanan, mudah pula untuk berkembang biak tanpa khawatir diserang musuh dari darat.
Ikan disuruh terbang dan burung ikut lomba renang adalah impossible. Kecuali Allah berkehendak ikan untuk terbang dan burung bisa berenang lho ya. Itu soal lain yang gabisa aku tolak buat percaya, hehe.
Begitupun manusia, yang selalu dijadikan masalah terbesar dan terdalam selama hidup. Padahal kalo dipikir-pikir, ya kok kurang kerjaan. Memaksa diri agar seperti orang lain. Memaksa biar gue bisa kayak dia yang kaya raya dan mempesona. Memaksa biar mapan sejak dini tanpa bergantung sama orangtua, ikutin jejaknya, eh abis dikulik, ternyata gembong judi. Ya kan masalah.
Berkaca dari aku dan adek keduaku, kita masing2 walaupun satu darah dan satu kandung, adalah dua orang yang sangat berbeda (bukan masalah gender gue cewek adek gue cowok lho ya), tapi masalah hobi dan kemampuan. Sebab aku dari kecil seneng main dokter2an, pura-pura mlesterin luka temen yang dia juga pura-pura sakit, sambil kasih resep obat (padahal yang aku kasih cuma permen 200 perak beli di warung), tapi itu berlanjut sampe sekarang, yang emang seneng dan mau susah payah bantu orang sakit biar pulih. Ditambah aku juga ambil pendidikan di ranah kesehatan, semakin bertambah pula kecintaanku di dunia kesehatan.
Berbeda dengan adekku, dia, mmm gimana ya dari kecil beda2 sih hobi dan kesukaannya, tapi yang jelas sampe sekarang senengnya main game sama baca komik, cuma ada satu kemampuan yang memang konsisten dia kulik dan pelajari dari jaman mondok pas SMP, sampe dia sekarang kuliah ekonomi syariah pun betul2 kepake, yaitu bahasa arab. Masalahnya ya karena kuliahnya juga cabang dari unversitas di Arab Saudi, dan mau gamau pengantar seluruh mata kuliahnya pake bahasa arab.
"Aku belajar bahasa Indonesia, Inggris, sampe statiska dan ekonomi dasar pakenya ya bahasa arab"
Bayangin belajar bahasa Indonesia pake pengantarnya bahasa Arab aja syulit ya, Sis. Tolong.
Kalo aku kayaknya udah ngibarin bendera putih aja sih, nggak sanggup go international dengan berbahasa arab (walaupun aku dulu mondok 6 tahun ygy tetep aja gapernah kepake dan sudah lupa)👍
Sama halnya dia yang dipaksa ambil kesehatan, jadi dokter misalnya, lah anaknya anti sosial dan susah diajak komunikasi plus analisa kasus juga nggak mumpuni, masa mau dipaksa. Kita berdua dicipta berbeda, sudah terampil di bidangnya masing-masing, dan nggak perlu dibanding-bandingke wkwk
Itu baru contoh dari saudara kandung, diluar itu misal antar teman, yang mungkin sama-sama kuliah di satu jurusan, namun apakah hasilnya akan sama juga? Tentu nggak dong. Mungkin yang satu memilih kerja di instansi besar, karena memang melihat peluang masa depan yang besar juga, dan satu lebih memilih kerja dengan ranah bakti sosial, memperbanyak mengikuti kegiatan relawan, karena dia punya tujuan yang berbeda pula dengan temannya. Pengan banyak2 bantu orang lain.
Pun sama halnya dengan kesuksesan, ga semuanya harus kudu mesti sama dengan orang yang terlihat waw di jagat maya, berpendidikan tinggi, berpenampilan menarik, punya skill yang mumpuni, sehingga kita ikut-ikutan biar bisa kayak dia, dibalik kemampuan kita yang ternyata tempatnya memang bukan disitu. Mau di gembleng sedemikian kerasnya pun akan kecewa, kan nggak bisa plek-ketuplek sama kayak dia.
Begitu ya temen-temen, cukup percaya sama Allah dan apa yang sudah Allah kasih menjadi kemampuan kita sendiri, itu yang terbaik. Nggak perlu terpukau dan ikut-ikutan sinarnya orang lain, cukup kita nyalakan pelita kita sendiri biar kita sanggup menyinari sekitar, itu sudahlah cukup luar biasa, apalagi perihal mengenali islam keseluruh penjuru dunia. Kita dicipta berbeda, karena masing-masing punya ruang dan bidang, dan waktunya sendiri-sendiri. Ajiib👍
Jogja, hujan pagi-pagi
~tumben salsa lagi lurus.
Komentar
Posting Komentar