"Eh, lo anak pondok, ya? Bentar, gue mau nanya. Pake kerudung panjang gini gerah nggak, sih?"
Suasana saat itu lagi PKKMB hari pertama, habis upacara 17an, kita lagi duduk ditengah lapangan siang bolong demi nonton parade Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada di kampus. Dan tiba-tiba ada yang nyeletuk persis disamping ku.
"Hmm, gerah tapi aku udah biasa kok." Jawabku nyeplos.
Dia manggut-manggut sembari ngelirik kaus kaki ku yang berjempol, kita semua yang duduk pasrah buka sepatu gara-gara gerah hingga ke kaki.
Hari berikutnya, aku dipertemukan dengan yang sama denganku, secara pakaian dan secara perilaku. Inget banget namanya Rani, anak FIKES jurusan Kesehatan Masyarakat. Betull, dia juga mantan santri, dan kita cukup akrab selama 1 hari. Untuk sementara aku 'terlihat' punya teman disini. Sebelum masuk ke esok hari dan kembali terpisah jurusan.
"Hai, namaku Nurlaila. Kok diem-diem aja sih. Nama kamu siapa?"
"Ehm, Salsa."
"Eh, kok kamu nggak masuk UIN aja sih, kan disana banyak yang pakaiannya kayak kamu, gede-gede?"
"Ehm, nggak kepikiran ambil disana sih, hehe. Nur, kamu bawa bekal buat siang nggak? Nih, aku bawa agak banyak. Nanti makan sama-sama ya."
"Jangan panggil Nur, panggil Iik aja. Oke?"
"Eh, hehe okedeh."
~~~~
Di indekost ukuran 2x3 meter aku banyak merenung setelah selesainya rangkaian kegiatan pengenalan mahasiswa baru. Emang salah ya kalo pakaianku begini? Emang harusnya yang kayak gimana? Tersadar, aku sudah berada di kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi di pondok dengan seabreg aturan ina inu, tapi sendiri, ya, sekarang aku sendiri memegang teguh apa yang udah 6 tahun aku lakukan. Nggak ada yang negur, menasihati, apalagi hukuman baca Surat Al-Baqarah 10x di Masjid Maryam.
Perlahan, aku memikirkan hari-hari kedepanku setelah ini. Perlahan, aku jadi agak menyesal nggak meneruskan kuliah (yang rasa pesantren) di Jogja yang baru seminggu. Perlahan, aku kebingungan sendiri, harus mulai dari mana?
Tapi seiring berjalannya waktu, seiring tugas dan ujian yang semakin menumpuk, seiring ternyata aku bisa punya teman (Si Iik tadi), semakin pula aku merasa yakin bisa mengatasi keruwetan di kepala sendirian. Tanpa minta bantuan dari teman pondok untuk sering2 mengingatkan, tanpa bantuan guru2 pesantren untuk sekadar menasihati, tanpa minta bantuan Allah untuk menguatkan hati. Lama-lama aku lalai juga. Aku seperti kehilangan arah, apalagi tujuan.
Ada satu hal yang karena sudah jadi rutinitas, aku sesekali masih bisa kembali seperti di pondok dulu, tilawah setiap habis shubuh dan maghrib. Mungkin itu satu-satu nya cara biar aku selalu kembali ke jalur yang benar, sadar bahwa aku masih seorang muslimah.
Terlebih sudah masuk ke tingkat dua dan tiga perkuliahan, aku sadar namun denial dengan pakaianku yang lambat laun semakin minim. Kerudung semakin mengecil, semakin sering bercelana longgar, mulai sering main sampai malam (walaupun itu sekadar nonton di bioskop bareng temen satu kontrakan), mulai boros karena gampang tergiur hal-hal yang nggak penting. Aku pun bingung kemana diriku yang dulu, namun merasa senang karena sekarang aku menjadi orang yang 'asik' dan 'gaul'. Nggak lagi membatasi diri dari deket sama laki-laki, sampai suatu waktu aku kena tampar sendiri, dan justru dari anak laki di kelas, dan teman2 sekitarku.
Ya. Kisah Truth or Dare yang pernah aku cerita di story Instagram. Mereka justru nggak masalah dengan pakaianku yang serba panjang, malah terlihat 'adem' di mata mereka. Mereka bilang yang penting nggak kebablasan aja pakaiannya, terlalu minim atau ekstrem. Satu poin yang aku langsung meleyot dengarnya, "Justru dari kamu kita jadi paham nggak semua anak mantan santri kaku dan tertutup, dan malah kita lebih bisa nerima nasihat atau saran dari kamu, Sal,"
Betapa Allah Maha Baik sama hambaNya yang rapuh ini, bahwa aku nggak perlu sampai kehilangan diri agar bisa mengajak teman-teman belajar islam, cukup dari hal-hal sederhana layaknya pakaian, cara kita bersikap, berteman, bergaul yang masih on track dengan ajaran islam, sangatlah bisa buat mereka pahami, dan aku sendiri pun tersadar akan indahnya ajaran islam, serta bagusnya akhlak seorang muslim.
Dan yang paling membekas hingga kini bahwa teman-teman kuliah mengenaliku apa adanya diriku yang mantan santri, dan berusaha sebisa mungkin menjauhkanku dari hal-hal buruk, "Biar nggak ternodai kayak kita," katanya. Ingat dulu pernah ada kakak tingkat yang berusaha mendekatiku dengan nanya macam2 ke salah satu temanku, lalu tiba-tiba menawarkan diri untuk pacaran denganku, you know what my friend said?
"Temen gue nggak boleh dideketin sama lu pada yang buaya. Dia masih suci. Titik."
Denger dia cerita begini sambil ngelus dada aku langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Walaupun begitu, dengan segala macam dinamika yang terjadi di kehidupan kampus, tetap perlakuan di rumah selalu stay on track jadi muslimah seutuhnya sejak masa kecil ku dulu. Memang Abi dan Umi adalah segelintir orang yang Allah gariskan sudah dipahamkan islam sejak kuliah, dan jadi aktivis kampus. Sudah rutin ikut kajian sana sini, belajar islam kesana kemari, maka dari aku kecil hingga sekarang sudah terbiasa dengan adanya rutinitas bulanan untuk rutin mengikuti kajian. Juga semenjak pindah ke jogja, yang notabene nya Abi punya komunitas aktivis teman kuliah dulu dan sekarang mendirikan program dakwah yang pusatnya di Solo dan Jogja, sudah bukan lagi menjadi rutinitas bulanan, melainkan harian.
Maka sebebas apapun aku di kampus, setiap pulang ke rumah sebenernya jadi momen ku buat kembali jadi santri wkwk, dari segi kebiasaan dan kegiatan di rumah maksudku, hehe.
Nah, sampai sini mulai mirip sama kisahnya Bang Hawariyyun yang di podcast nya King Shifrun, kan hehehe, cuma yang jelas aku nggak se-sholeh itu gaes, saya masih sering terbawa arus ajakan teman. Dan hal yang paling krisis menurutku ialah saat pasca kelulusan. Setelah wafatnya Umi, segala sesuatu yang biasa dikerjakan Umi aku yang menggantikan. Ditambah aku yang sehari-hari juga kerja di RS dengan jadwal hampir seminggu full, aku seperti kehilangan semangat buat ikut kajian, atau bahkan sekadar tiap habis shubuh dzikir pagi, karena sudah capek dan males lahir batin duluan. Pengennya kalo hari Minggu refreshing jalan-jalan, nonton drakor atau baca novel.
Tapi, semakin rutinitas yang gitu-gitu aja, kok lama-lama bosen juga. Di rumah pun aku merasa masalah semakin numpuk nggak karuan. Aku kayak kehilangan kepingan kecil puzzle yang dari kecil tuh aku udah dikasih, tapi nggak tau itu apa. Sampai masa pandemi covid dateng, yang pada akhirnya aku juga resign kerja di RS, problem keluarga, juga aku yang kehilangan diri sendiri.
Lagi-lagi Allah Maha Pengasih, aku seperti digerakkan lagi buat nulis jurnal di blog, nulis-nulis di IG, nulis apapun yang aku bisa, serta iseng-iseng buka profil penulis yang dia juga bisa sambil dakwah kayak Teh Kartini F Astuti, Teh Farah Qoonita, Teh Karina Hakman, Teh Febrianti Almeera, dan masih banyak lagi. Awalnya cuma pengen cari ide dan tips nulis bagus kayak apa, tapi lama-lama fitrah mencari tahu islam di sisi dakwah lewat tulisan justru mengalir lebih deras. Juga jadi momen 'gong' ku untuk mau kembali mengulik agamaku sendiri, Islam.
Next coming soon>> Ketemu YukNgaji😍
Nb : Nong Iik ijin ter-mention disini ya✌
Komentar
Posting Komentar